Ki Enthus Susmono, dari Dalang Terkenal hingga Bupati Tegal

17 May 2018

Jakarta, CNN Indonesia -- Sebelum dilantik sebagai Bupati Tegal oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo periode 2014-2019, Ki Enthus Susmono telah lebih dulu dikenal sebagai Dalang. Lahir di lingkungan keluarga dalang, ia sudah berkiprah di dunia pedalangan sejak 1986 hingga sekarang. 

Sejumlah karya kreatif wayang, pameran dan berbagai penghargaan pun sudah pernah diraihnya. Pria kelahiran Tegal, 21 Juni 1966 ini pada 2005 pernah menerima gelar Doktor Honoris Causa di bidang seni-budaya dari International Universitas Missouri, AS dan Laguna College of Business and Arts, Calamba, Filipina. 

Selain berbagai penghargaan itu sejumlah karyanya disebut juga tersimpan dalam museum di luar negeri, antara lain di Tropen Museum Belanda, Museum Wayang Walter Angst Jerman dan di Museum of International Folk Arts (MOIFA) New Mexico. 

Dilansir dari Antara, calon petahana dalam pilkada Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, tersebut meninggal dunia di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Soeselo, Slawi, Senin sekitar pukul 19:10 WIB. Penyebab meninggalnya belum diketahui, kendati demikian diduga Ki Enthus Susmono meninggal karena mengidap gula darah.

Kepala Sub Bagian Pemberitaan dan Dokumentasi Kabupaten Tegal, Hari Nugroho mengatakan bahwa Bupati Tegal Ki Enthus yang sedang menjalani masa cuti untuk mengikuti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 itu meninggal pada usia 52 tahun.

Kiprah di dunia pedalangan

Dirangkum dari sejumlah sumber, Ki Enthus dibesarkan di lingkungan keluarga dalang. Ia adalah anak tunggal Soemarjadihardja, dalang wayang golek Tegal dengan istri ke-tiga bernama Tarminah. Kakek moyangnya, R.M Singadimedja juga merupakan dalang terkenal dari Bagelen pada masa pemerintahan Sunan Amangkurat di Mataram. 

Sejak 1986, atau berusia 20 tahun ia sudah berkiprah sebagai dalang. Ki Enthus terkenal dengan gaya sabetannya yang khas, kombinasi antara sabet wayang golek dan wayang kulit membuat pertunjukannya berbeda dengan dalang-dalang lainnya. Ia juga memiliki kemampuan dan kepekaan dalam menyusun komposisi musik, baik modern maupun tradisi (gamelan). 

Kekuatan menginterpretasi dan mengadaptasi cerita serta kejelian membaca isu-isu terkini membuat gaya pakeliran-nya menjadi hidup dan interaktif. Didukung eksplorasi pengelolaan ruang artisitik kelir menjadikannya lakon-lakon yang ia bawakan bak pertunjukan opera wayang yang komunikatif, aktual, dan menghibur.

Pada tahun 2005, dia terpilih menjadi dalang terbaik se-Indonesia dalam Festival Wayang Indonesia yang diselanggarakan di Taman Budaya Jawa Timur. 

Dalam dunia pedalangan, Ki Enthus disebut juga sebagai salah satu dalang yang mampu membawa pertunjukan wayang menjadi media komunikasi dan dakwah secara efektif. 

Oleh karenanya, pertunjukan wayang yang ia garap kerap dijadikan sebagai ujung tombak untuk menyampaikan program-program pemerintah kepada masyarakat seperti kampanye anti-narkoba, anti-HIV/Aids, HAM, Global Warming, program KB, pemilu damai, dan lain-lain. Di samping itu dia juga aktif mendalang di beberapa pondok pesantren melalui media Wayang Wali Sanga.

Ribuan penonton disebut selalu membanjiri saat ia mendalang. Keberaniannya melontarkan kritik terbuka dalam setiap pertunjukan wayangnya, memosisikan tontonan wayang bukan sekadar media hiburan, melainkan juga sebagai media alternatif untuk menyampaikan aspirasi masyarakat.

Ki Enthus juga dikenal berkat 'kenakalannya' mendesain wayang-wayang kontemporer seperti wayang George Bush, Saddam Hussein, Osama bin Laden, Gunungan Tsunami Aceh, Gunungan Harry Potter, Batman, wayang alien, wayang tokoh-tokoh politik, dan lain-lain yang membuat pertunjukannya selalu segar. 

Dalam tiga dekade kiprahnya sebagai dalang, tercatat akumulasi rata-rata setiap tahunnya ia melakukan sebanyak 70 pementasan. Di antaranya, ia pernah menggelar Wayang Simphony di Taman Ismail Marzuki, Jakarta dalam rangka Sepekan Wayang Kebangsaan pada 2006. Ia juga merupakan sosok di balik lahirnya konsep Wayang Kebangsaan, sebuah konsep pagelaran wayang yang mengangkat isu-isu kebangsaan dan nasionalisme. 

Pada 2007, ia juga pernah menggelar pentas Duel Dalang Kondang bersama Ki Manteb, di Monumen GBN Slawai, Tegal, dan pentas Wayang Blong dalam event Festival Seni Surabaya. Tak hanya itu, Ki Enthus juga pernah mewakili Indonesia dalam event Festival Wayang Internasional di Denpasar, Bali setahun setelahnya. 

Menghembuskan napas terakhir pada Senin (14/5), Ki Enthus meninggalkan empat anak, yakni Firman Nurjannah, Firman Jendra, Firman Jafar Tantowi, dan Firman Haryo Susilo. Ia menikah dengan Romiyati pada 1990 hingga 1995, dan Nurlaela dari 1997 hingga sekarang.